Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 Maret 2012

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 LATAR BELAKANG
Di dalam Agama Hindu, dikenal dengan adanya Ajaran Catur Asrama yaitu empat jenjang tahapan kehidupan. Dimana pembagiannya adalah yang pertama, Brahmacari Asrama yaitu masa menuntut ilmu. Kedua, Grehastha Asrama yaitu masa berumah tangga atau menjalani kehidupan berumah tangga. Ketiga, Wanaprastha Asrama yaitu melepaskan diri dari ikatan keduniawian dan yang keempat Bhiksuka Asrama atau “Sanyasin” yaitu menyebarkan ajaran kerohanian.
Dalam menjalankan Ajaran Catur Asrama, dimana disini lebih menekankan pada ajaran tahapan kedua, yaitu Grehastha Asrama. Sangat erat kaitannya dengan upacara pernikahan atau wiwaha. Menurut Agama Hindu pernikahan adalah suat hal yang amat dimuliakan dan disakralkan, karena pernikahan dan mempunyai anak adalah perintah agama yang dimuliakan.
Maka dari itu, kita sebagai umat Hindu sangatlah penting untuk lebih mampu memahami konsep Wiwaha itu sendiri, dan mengetahui bagaimana pelaksanaan, tujuan serta sarana prasarana dalam melaksanakan upacar Pernikahan atau Wiwaha, agar kita mampu menjalankan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya.

1.2 RUMUSAN MASALAH
  1. Apa pengertian Wiwaha?
  2. Apakah tujuan dari Wiwaha ?
  3. Bagaimana syarat pernikahan agama Hindu?
  4. Bagaimana bentuk pernikahan menurut agama Hindu?
  5. Bagaimana pelaksanaan pernikahan menurut tradisi setempat?
           
1.3 TUJUAN PENULISAN
  1. Untuk mengetahui pengertian Wiwaha.
  2. Untuk mengetahui tujuan Wiwaha.
  3. Untuk mengetahui syarat pernikahan agama Hindu.
  4. Untuk mengetahui bentuk pernikahan menurut agama Hindu.
  5. Untuk mengetahui pelaksanaan pernikahan menurut tradisi setempat.

1.4 MANFAAT PENULISAN
1.      Bagi siswa, dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan siswa mengenai konsep Wiwaha.
2.      Bagi masyarakat luas, dengan adanya makalah dapat menambah wawasan mengenai sistem, syarat, bentuk dari wiwaha atau lain sebagainya.
3.      Bagi guru, dengan adanya makalah ini dapat menanamkan pengetahuan dini kepada siswa mengenai penyusunan makalah.

1.5 METODE PENULISAN
Metode Penelitian yang kami gunakan untuk menyusun makalah ini adalah metode Kajian Pustaka, karena dalam mencari informasi dan memperoleh sumber kami menfaatkan beberapa literature dan menelusurinya di website dan beberapa blog.


BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

Dalam masyarakat Hindu ada empat jenjang/tahapan kehidupan yang disebut Catur Asrama. Tahap pertama, yaitu tahap belajar/menuntut ilmu yang disebut Brahmacari. Tahap yang kedua adalah Grhasta, yaitu berumah tangga. Tahap ketiga disebut Wanaprastha, yaitu mulai melepaskan diri dari ikatan Duniawi dan tahap keempat adalah Bhiksuka/Sanyasin, yaitu menyebarkan ilmu kerohanian kepada umat, dan dirinya sepenuhnya diabdikan kepada Tuhan, Wiwaha/Pernikahan dalam masyarakat Hindu memiliki arti dan kedudukan khusus dan penting sebagai awal dari masa berumah tangga atau grhastha asrama.
suatu transaksi dianggap sah bila ada saksi, dalam Upacara Wiwaha (Byakala) tersebut sudah terkandung Tri Upasaksi (Tiga Saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa saksi adalah Saksi Dewa (Ida Sang Widhi Wasa) yang di mohon untuk menyaksikan upacara pawiwahan tersebut, Manusa Saksi adalah Saksi Manusia. Dalam hal ini semua orang yang hadir pada saat dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku dan Perangkat Desa (Bendesa Adat, Kelian Dinas dan sebagainya). Bhuta Saksi adalah saksi para Bhuta Kala.
Pada saat dilaksanakan Upacara Byakala kita membakar tetimpug (beberapa potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbul suara ledakan. Suara ledakan tersebut merupakan simbul memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalanya upacara tersebut.
Setelah selesainya Upacara Wiwaha (Byakala). Maka pasangan pria dan wanita tersebut telah resmi menjadi suami istri (Dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang Grhastin.

2.1  PENGERTIAN WIWAHA
Bagi masyarakat Hindu soal pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah pernikahan sebagaimana terdapat didalam sastra dan kitab hukum Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang mengatur tata laksana pernikahan pembinaan hukum agama Hindu di bidang pernikahan.
Berdasarkan Kitab Manusmrti, pernikahan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang “putra”. Kata putra berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya “ia yang menyebrangkan/menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka”.
Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa Wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang dialami normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang demikian pula oleh para leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa seseorang akan dapat dilakukan oleh keturunannya seperti dijelaskan dalam ceritera/Itihasa.

2. 2 TUJUAN WIWAHA
Tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :
Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaanya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaanya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang saputra. Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.
Lebih jauh dijelaskan oleh Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan Samskara yang menempatkan kedudukan pernikahan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu.
Dalam upacara Manusia Yadnya, wiwaha Samskara (Upacara Pernikahan) dipandang merupakan puncak dari upacara Manusa Yadnya, yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua atau Leluhur, maka itu disamakan dengan Dharma.
Wiwaha Samskara diabadikan berdasarkan Weda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian diri melalui pernikahan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakanlah wanita dan pria oleh Tuhan, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh Dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri.
Dalam berumah tangga ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu :
1 Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya

2. 3 SYARAT-SYARAT WIWAHA
Upacara Wiwaha (Pernikahan) adalah suatu Samskara dan merupakan lembaga yang tidak terpisah dari hukum Agama (Dharma). Menurut ajaran agama Hindu, sah atau tidaknya suatu pernikahan terkait dengan sesuai atau tidak dengan persyaratan yang ada dalam agama. Suatu pernikahan dianggap sah menurut Hindu adalah, sebagai berikut :
1.      Pernikahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan Hukum Hindu.
2.      Untuk mengesahkan pernikahan menurut Hukum Hindu harus dilakukan oleh Pendeta/Rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
3.      Suatu pernikahan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.
4.      Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pernikahan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan sebagai rangkaian Upacara Wiwaha.
5.      Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
6.      Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani.
7.      Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun.
8.      Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau sepinda.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka  syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
a.       Dalam pasal 6 disebutkan pernikahan harus ada  persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua.  Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah.
Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
yang artinya:
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).

b.      Menurut pasal 7 ayat 1, pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan pernikahan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa “walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan  dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya.” Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).

c.       Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu pernikahan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

d.      Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu pernikahan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharmasastra  II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
Yang artinya:
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara pernikahan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita) dan Moksa.
Dalam pelaksanaan upacara pernikahan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavadgita XVII. 12-14 sebutkan  syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
a.       Sapta Pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
b.      Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara pernikahan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
c.       Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
d.      Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
e.       Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
f.       Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
g.      Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
h.      Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
i.        Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
j.        Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

2. 4 BENTUK PERNIKAHAN
A.    Bentuk Pawiwahan dalam Agama Hindu
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk pernikahan sebagai berikut:
a.       Brahma wiwaha adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
b.      Daiwa wiwaha adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
c.       Arsa  wiwaha adalah bentuk pernikahan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
d.      Prajapatya  wiwaha adalah bentuk pernikahan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
e.       Asuri wiwaha adalah bentuk pernikahan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
f.       Gandharva wiwaha adalah bentuk pernikahan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
g.      Raksasa  wiwaha adalah bentuk pernikahan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk pernikahan ini dilarang.
h.      Paisaca wiwaha adalah bentuk pernikahan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk pernikahan ini dilarang.

B.     Pernikahan yang Dilarang
Larangan suatu pernikahan diawali dengan pencegahan. Berdasarkan pasal 1 Undang – Undang No. 1 tahun 1974 dari Undang – Undang pernikahan, pencegahan dilakukan dengan cara mengajukan kepengadilan Negeri dalam wilayah hukum di mana dilangsungkannya pernikahan itu.
Berdasarkan Dharmasastra pencegahan pernikahan apabila yang bersangkutan adalah sapinda, artinya mempunyai hubungan darah yang dekat dari keluarga. Menurut Undang - Undang No. 1 tahun 1974, suatu pernikahan dapat dibatalkan bila tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 27 yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)      Suatu pernikahan dapat diminta pembatalannya apabila bertentangan dengan hokum agama, misalnya dilaksanakan dengan system raksasa atau Paisaca Wiwaha.
2)      Pernikahan dapat dibatalkan bilamana calon mempelai masih mempunyai ikatan pernikahan dengan seseorang sebelumnya.
3)      Pernikahan dapat dibatalkan bila calon istri/suami mempunyai cacat yang disembunyikan,sehingga salah satu pihak merasa ditipu, misalnya mempunyai penyakit menular berbahaya, tidak sehat pikiran atau impotensi, mengandung karena akibat berhubungan dengan laki – laki lain.
4)      Pernikahan batal berdasarkanhubungan sapinda.
5)      Pernikahan bisa dibatalkan apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu.

2. 5 PELAKSANAAN PERNIKAHAN MENURUT TRADISI SETEMPAT
A. Pernikahan Menurut Tradisi Bali
Pernikahan menurut Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkat, yaitu kecil/nista, sedang/madya, dan besar/utama.  Walaupun menjadi tiga namun nilai spriritualnya sama.
1. Tata Urutan dan Jalannya Upacara
a. Penyambutan Kedua Mempelai
Penyambutan mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur-unsur negative yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak menganggu jalannya upacara.
b. Mabyakala
Upacara untuk membersihkan lahir batin terhadap kedua mempelai, yaitu sel benih pria dan sel benih wanita  agar menjadi janin suputra.
c. Mapejati/Pesaksian
Mapejati merupakan upacara kesaksian tentang pengesahan pernikahan ke hadapan Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah mengikatkan diri sebagai suami istri yang sah.

2. Sarana/Upakara
Jenis upakara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana rinciannya sebagai berikut:
1.      Banten Pemagpag, segehan dan tumpeng dadanan.
2.      Banten Pesaksi, pradaksina, dan ajuman.
3.      Banten untuk mempelai byakala, banten kurenan, dan pengulap pengambean.
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti sebagai berikut:
1.      Tikeh Dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang maih hijau, ini merupakan simbol kesucian si gadis.
2.      Papegatan berupa dua buah canang, dapdap yang ditancapkan di tempat upacara. Jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.
3.      Tetimpug yaitu beberapa pohon bamboo kecil yang masih muda dan ada ruassnya sebanyak lima ruas atau tujuh ruas.
4.      Sok Daganng adalah sebuah bakul yang berisi buah-buahan, rempah-rempah dan keladi.
5.      Kala Sepetan yaitu disimbolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah, dan tiga lembar daun dapdap. Kala Sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pekala-kalaan.
6.      Tegen-tegenan adalah batang tebu atau cabang dapdap yang kedua ujungnya diisi gantungan bingkisan nasi dan uang.

B. Pernikahan Menurut Tradisi Jawa
Biasanya setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga menyetujui pernikahan, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pinangan
Biasanya yang melamar adalah pihak calon penganten pria. Bila sudah diterima, langsung akan dibicarakan langkah-langkah selanjutnya sampai terjadinya upacara pernikahan.
b. Siraman
Siraman dari asal kata siram ,artinya mandi. Sehari sebelum pernikahan, kedua calon penganten disucikan dengan cara dimandikan yang disebut Upacara Siraman. Calon pengantin putri dimandikan di rumah orang tuanya, demikian juga calon mempelai pria juga dimandikan di rumah orang tuanya.
c. Ngerik
Ngerik artinya rambut-rambut kecil diwajah calon pengantin wanita dengan hati-hati dikerik oleh pemaes.Rambut penganten putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Perias mulai merias calon penganten .
d. Midodareni
Pada upacara midodareni yang  berlangsung dimalam hari sebelum Ijab dan Temu Manten/Panggih di keesokkan harinya, kedua orang tua calon mempelai pria beserta calon mempelai pria, diantar oleh keluarga dekatnya, berkunjung kerumah orang tua calon mempelai putri.
e. Upacara diluar Kamar Pelaminan
Dimalam midodareni, orang tua dan keluarga calon penganten putri, menerima kunjungan dari orang tua dan keluarga dari calon penganten pria. Mereka duduk didalam rumah, saling berkenalan dan bersantap bersama. Calon penganten pria juga datang, tetapi dia tidak boleh masuk rumah dan hanya boleh duduk diserambi depan rumah. Diapun hanya disuguhi segelas air minum, tidak boleh makan atau minum yang lain.Ini konon untuk melatih kesabaran seorang suami dan kepala keluarga.
f. Srah-srahan atau Peningsetan
Dalam upacara midodareni, bisa dilakukan srah-srahan atau peningsetan.( Pada zaman dulu, peningsetan dilakukan sebelum malam midodareni).  Orang tua dan keluarga calon penganten pria memberikan beberapa barang kepada orang tua calon penganten wanita.
Peningsetan dari kata singset, artinya mengikat erat, dalam hal ini terjadinya komitmen  akan sebuah pernikahan antara putra putri kedua pihak  dan para orang tua penganten akan menjadi besan.
g. Nyantri
Sewaktu rombongan keluarga temanten pria pulang dari upacara midodareni, calon penganten pria juga ikut diajak pulang.Tetapi, bila calon mempelai pria nyantri, maka dia ditinggal dirumah calon mertuanya.Tentu nyantri sebelumnya sudah dibicarakan dan disetujui kedua pihak. Begini tata caranya : Orang tua calon mempelai pria melalui  jurubicara keluarga mengatakan kepada orang tua calon mempelai wanita, bahwa calon mempelai pria tidak diajak pulang dan menyerahkan tanggung jawab kepada orang tua calon mempelai putri.
Setelah keluarganya pulang, ditengah malam dia dipersilahkan masuk rumah untuk makan, tidak boleh ketemu calon istrinya dan sesudah itu diantar kekamar  tidur  untuk beristirahat.
Nyantri dilaksanakan untuk segi praktisnya, mengingat besok pagi dia sudah harus didandani untuk pelaksanaan ijab kabul/pernikahan. Juga untuk keamanan pernikahan, kedua calon mempelai sudah berada disatu tempat.
h. Pelaksanaan Ijab
Ijab adalah hal paling penting untuk melegalisir sebuah pernikahan. Ijab  dilaksanakan sesuai dengan agama yang dianut kedua pengantin.

C. Pernikahan Menurut Tradisi Dayak
Pernikahan adat Dayak pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 tahapan :
a. Mamupuh
Apabila keluarga pihak laki-laki telah mencapai sepakat tentang seorang wanita yang akan dilamar, keluarga laki-laki mengirim utusan kepada pihak perempuan untuk menyampaikan lamarannya. Utusan tersebut membawa persyaratan Adat, seperti Sangku Tambak (mangkok yang berisi beras dan uang logam yang berguna sebagai symbol Singal Sangku). Persyaratan tersebut merupakan simbolis bahwa pihak laki-laki melamar seorang wanita yang diserahkan langsung kepada orang tua atau wali pihak perempuan. Jika pihak perempuan menerima lamaran tersebut mereka harus menyampaikan kepada utusan pihak laki-laki yang melamar. Setelah mengetahui lamarannya diterima, pihak laki-laki menyerahkan pakaian Sinde (selembar kain panjang atau kamben) kepada wanita yang dilamar dan pada saat itu juga pihak laki-laki menetapkan rencana untuk meminang.
b. Meminang
Peminangan biasanya dilakukann dalam kurun waktu tiga bulan setelah pihak laki-laki menyerahkan Sinde Mendeng. Persyaratan meminang yang dibawa oleh pihak laki-laki, antara lain satu buah gong untuk Batu Pisek, pakaian Sinde Mendeng, seekor ayam, dan lilies/lamiang.
c. Tahap Pengukuhan Pernikahan
Sebelum keberangkatan mempelai laki-laki di rumahnya menuju kediaman mempelai perempuan, terlebih dahulu diadakan upacara pemberangkatan. Setiba di rumah mempelai perempuan, mempelai laki-laki terlebih dahulu menginjak telur ayam yang ditaruh di atas batu yang disiapkan di depan pintu, setelah itu mempelai laki-laki Mapas dengan menggunakan daun andong yang dicelupkan dalam air cucian beras. Maksud memapas ini adalah untuk mensucikan lahir batin mempelai laki-laki, sedangkan penyucian lahir batin untuk mempelai wanita telah diadakan pada malam sebelemnya.  Setiba di rumah diadakan upacara Haluang Hapelek (pernikahan Adat).
Pengukuhan pernikahan secara agama Hindu di Dayak berlangsung keesokan harinya, pada pengukuhan pernikahan, kedua mempelai duduk bersanding di atas sebuah Gong. Tangan mereka memegang Ponjon, Andong, Rabayang, Rotan, serta menghadap sesajen yang ditujukan kepada Putir Santanng (manifestasi Ranjng Hattala/Tuhan di bidang pernikahan). Yang melaksanakan pengukuhan pernikahan adalah tujuh orang rohaniawan agama Hindu yang dengan darah binatang kurban, minyak kelapa, dan beras. Setelah itu, kedua mempelai diberi makan tujuh buah nasi tumpeng yang terlebih dahulu digabungkan menjadi satu dan kemudian dibagi berdua.Sebagai  penutup kedua mempelai Manukiei sebanyak tujuh kali di depan pintu rumah.  Sore harinya dilanjutkan dengan upacara Mahenjean Penganten yang pada prinsipnya memberikan nasihat pernikahan kepada kedua mempelai.
Selama tujuh hari terhitung sejak upacara pengukuhan pernikahan, kedua mempelai menjalanka beberapa pantangan, antara lain tidak ke luar rumah dan tidak membunuh atau menyiksa binatang. Pada hari yang kedelapan kedua mempelai melakukan kunjunngan ke rumah sesepuh keluarga mempelai untuk memohon doa restu.


BAB III
PENUTUP

3. 1 Simpulan
  1. Wiwaha merupakan istilah pernikahan sebagaimana terdapat di dalam sastra dan kitab hukum Hindu (Smrti).

  1. Tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra.

  1. Syarat terjadinya pernikahan dalam agama Hindu:
ü  Dilakukan menurut ketentuan Hukum Hindu.
ü  Pengesahan harus dilakukan oleh Pendeta/Rohaniawan.
ü  Kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.
ü  Telah melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan sebagai rangkaian Upacara Wiwaha.
ü  Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
ü  Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani.
ü  Calon mempelai cukup umur.
ü  Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau sepinda.

4.      Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk pernikahan sebagai berikut:
*      Brahma wiwaha.
*      Daiwa wiwaha.
*      Arsa  wiwaha
*      Prajapatya  wiwaha.
*      Asuri wiwaha.
*      Gandharva wiwaha.
*      Raksasa  wiwaha.
*      Paisaca wiwaha.

  1. Rentetan pelaksanaan pernikahan menurut tradisi setempat:
1. Pernikahan menurut tradisi Bali:
a.       Penyambutan kedua mempelai.
b.      Mabyakala.
c.       Mapejati/pesaksian.
2. Pernikahan menurut tradisi Jawa:
a.       Pinangan.
b.      Siraman.
c.       Ngerik.
d.      Midodareni.
e.       Upacara diluar kamar pelaminan.
f.       Srah-srahan atau peningsetan.
g.      Nyantri.
h.      Pelaksanaan ijab.
3. Pernikahan menurut tradisi Dayak:
a.       Mamupuh.         
b.      Meminang.
c.       Tahap pengukuhan pernikahan.

3.2 Saran
1.      Bagi umat yang hendak melakukan pewiwahan sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apa syarat suatu pewiwahan tersebut dianggap sah.
2.      Perhatikan terlebih dahulu mengenai tradisi pernikahan daerah setempat, agar pernikahan dapat dinyatakan sah.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2010. Widya Dharma Agama Hindu Untuk SMA Kelas XII. Denpasar: Ganeca Exact.
2.      Sujana, I Wayan, dkk. 2011.Lembar Kerja Siswa Agama Hindu Yoga Prabha. Denpasar : Yoga Prabha.
3.      www.google.com

Cari Blog Ini