Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 Maret 2012

cerpen "Kau Tak Sendiri"

KAU TAK SENDIRI

“KAKAK!”, teriak Nina ketika Erwin, pacarnya menjemput ke sekolahnya. Nina memang lebih suka memanggil Erwin dengan sebutan “kakak” bukan “sayang”. Erwin yang ada di hadapan Nina saat ini tersenyum dan berkata, “Udah lama nunggunya? Maaf ya tadi ada urusan di kampus. Mau pulang langsung atau makan dulu?”
“Gak kok, baru 5 menit yang lalu. Pulang langsung aja deh, capek banget.”, balas Nina yang lansung naik ke mobil dan duduk di sebelah Erwin. Hubungan Erwin dan Nina sudah berjalan selama 1 tahun. Nina dulunya adik kelas Erwin ketika di SMA. Mereka saling kenal karena ketidak sengajaan Nina menabrak Erwin ketika Nina sedang ingin membolos. Sifat Erwin dan Nina yang bertolak belakang membuat siswa satu sekolah merasa heran tentang hubungan mereka. Erwin yang terkenal karena keteladanannya dan Nina yang terkenal karena kebandelannya.
Tapi, semenjak mengenal Erwin, hidup Nina menjadi berubah. Dia bukan lagi gadis bandel dan berandal yang suka membolos sekolah. Erwin selalu menjaganya agar dia tidak melakukan hal yang aneh – aneh. “Ada tugas untuk besok?”, Tanya Erwin ketika perjalanan pulang mengantar Nina.
“Gak, kalaupun ada palingan udah nyuruh kakak yang buatin.”, balas Nina dengan santai.
“Kamu tuh ya, masih aja suka ngerepotin aku. Kapan berubahnya sih?”
“Emang kakak pengen aku berubah kayak gimana lagi? Aku kan udah jarang ngebolos, bukannya itu juga udah perubahan? Aku juga udah jarang telat.”
“Bukan gitu maksudnya, sayang! Kamu udah kelas 3 SMA, udah saatnya buat kamu bersikap lebih dewasa. Aku gak akan selamanya bisa ngadapin sifat kamu yang kayak anak kecil ini.”, kata Erwin dengan nada lembut. Sebenarnya Nina bisa bersikap lebih dewasa semenjak pacaran dengan Erwin, tapi Nina tetap bersikap seperti anak kecil ketika sedang dengan Erwin. Karena hanya Erwinlah yang dirasakan satu – satunya orang yang peduli dengannya. Orang tua Nina sudah bercerai semenjak Nina kelas 3 SMP. Dan sejak saat itu, Nina menjadi cewek bandel yang susah diatur. Nina memutuskan untuk tinggal bersama kakak kandungnya di Jogja. Nina tidak menjawab ketika kedua orang tuanya menanyakan dia akan tinggal dengan ayah atau ibunya. Hingga saat ini dia masih tinggal dengan kakaknya, Khevin beserta kakak iparnya, Maya. Terkadang ayah atau ibunya mengunjungi Nina dan membawakan makanan kesukaan Nina, tapi karena kebencian Nina terhadap kedua orangtuanya, dia sama sekali tak pernah memakan makanan yang dibawakan oleh kedua orang tuanya. Orangtuanya percaya sepenuhnya pada Khevin untuk menjaga Nina.
“Ini udah kesekian kalinya Kakak bilang gitu ama aku. Kakak lama – lama kayak Kak Khevin dan Kak Maya, suka ceramahin aku terus. Aku capek ngedengarinnya.”, balas Nina sambil cemberut.
“Sayang, bukan gitu. Ini semua demi kebaikan kamu. Lambat laun aku juga bakal sibuk dengan kuliah dan usahaku? Jadi, waktu buat nemanin kamu bakal berkurang.”
“Waktu SMA kakak juga masih bisa nemanin aku, padahal kakak juga sekolah dan kerja. Tapi, kenapa sekarang gak bisa?”
“Karena tugas kuliah banyak dan toko sekarang makin terkenal dan rencana mau buka cabang baru di Surabaya.”, balasnya dengan nada lembut. Usaha yang dijalankan oleh Erwin adalah restoran Italia yang sudah dirintis sejak dia kelas 1 SMA. Yang awalnya dibantu dan dimodali oleh Ayahnya. Tapi kini usahanya sudah berkembang pesat dan sudah merupakan tanggung jawab Erwin sepenuhnya. Nina tahu hal itu, karena sejak mereka berpacaran Nina selalu menemani Erwin di restorannya. “Tapi, aku masih bisa nemanin kakak di restoran kayak dulu? Bukannya kakak juga sering bantu aku buat tugas di restoran sambil kakak jaga restoran? Jadi apa bedanya? Apa jangan – jangan kakak udah gak betah sama sikap aku?”, kata Nina masih keras kepala.
“Terserahlah!”, balas Erwin dengan nada pasrah. Erwin tahu ini akan terjadi apabila dia membicarakan hal ini. Tapi, bagaimanapun juga Erwin harus bisa membuat Nina menjadi orang yang lebih dewasa. Karena Erwin tahu cepat atau lambat dia akan meninggalkan Nina.
Setibanya di depan rumah Khevin, Erwin turun untuk membukakan Nina pintu dan mampir sebentar untuk bertemu dengan Khevin atau Maya. “Makasih kak. Masuk dulu yuk?”, kata Nina ketika baru turun dari mobil.
“Iya, aku juga mau ada urusan ama Kak Khevin atau Kak Maya. Soal bisnis.” Dari Khevinlah, Erwin mendapatkan bahan makanan untuk restorannya. Khevin merintis sebuah toko yang khusus menjual bahan makanan, baik bahan makanan dalam ataupun luar negeri. Hari ini Khevin dan Erwin udah buat janji. Jadi, Khevin menunggu Erwin dirumahnya. Ketika Nina dan Erwin datang, Khevin langsung menyambutnya. “Ini dia yang udah ditunggu – tunggu datang juga.”, katanya sambil mempersilahkan Erwin dan Nina untuk masuk. “Duduk dulu Win.”, katanya sambil mempersilahkan Erwin duduk. “Nina, kamu buatin Erwin minum dulu. Nanti kamu boleh langsung istirahat. Erwinnya mau kakak pinjam dulu buat ngomongin bisnis.”
“Oke aku juga mau tidur siang dulu. Ngantuk banget.”, balasnya langsung menuju dapur. Setelah menyediakan minum untuk Khevin dan Erwin, Nina pamit ke Khevin dan Erwin dan langsung menuju kamarnya di lantai dua. Setelah Nina pergi, Erwin mulai bicara, “Kak, maaf minta waktu kakak. Sebenarnya aku kesini bukan utnuk ngomongin bisnis, tapi untuk ngomongin masalah Nina. Kemarin aku kerumah sakit untuk check up, dan hasilnya ternyata aku mengidap tumor otak. Menurut dokter kalau dioperasi hasilnya 50:50 dan umurku tinggal 8 bulan lagi, itupun kalau kondisiku stabil, tapi kalau aku sakit terus, tumornya akan lebih cepat merambat. Aku gak tahu harus kayak gimana. Aku gak bisa cerita semua ke Nina. Aku takut dia gak ngerti tentang apa yang aku alami sekarang.”
“Win, cepat atau lambat Nina akan tahu semuanya. Lebih baik kamu ceritakan semua pada Nina sekarang. Daripada itu menjadi beban untukmu. Aku yakin Nina akan ngerti.”
“Tapi, apa benar Nina akan mengerti? Bagaimana kalau dia malah gak percaya? Aku gak mau Nina kembali ke masa lalunya jadi gadis berandal yang susah diatur.”
“Nina akan baik – baik saja, jika kamu menjelaskannya dengan baik –baik. Kamu lebih mengerti dan dekat dengan Nina daripada aku. Hanya kamu yang bisa mengendalikan dia. Bukan ayah, ibu, ataupun aku dan Maya. Semenjak dia mengenalmu, dia mulai bisa bersikap lebih dewasa. Kamu harus bilang sama dia!”, timpal Khevin dengan tegas. “Sekarang semua keputusan ada di kamu. Apapun keputusannya, aku akan bantu kamu.”
“Oke kak, kalau gitu aku minta bantuan kakak untuk ngerahasiain ini dulu dari Nina, sampai aku sanggup buat bilang ke dia.”, katanya. “Aku janji akan bilang kedia soal penyakitku ini.”
***
            Dua bulan sudah berlalu, tapi belum juga ada keberanian untuk Erwin mengatakan soal penyakitnya ke Nina. Segala tentang penyakitnya, dirahasiakan dengan rapat. Hingga suatu hari, Erwin mencoba memberanikan diri untuk membicarakannya dengan Nina, ketika mereka sedang duduk di restoran Erwin.
“Nina, kalau seandainya suatu saat nanti kita gak bisa bersama kayak gini lagi, apa yang bakal kamu lakukan?”
“Gak ngelakuin apa – apa.”, ucapnya dengan santai.
“Na, aku serius!”, balas Erwin dengan nada tegas. Mendengar nada suara Erwin yang berubah, Nina kemudian menatap mata Erwin dengan tajam. “Kenapa kakak nanya gitu? Kakak mau ninggalin aku? Kakak mau egois seperti ayah dan ibuku yang lebih mementingkan hidup mereka masing – masing?” Suara Erwin kembali lembut, “Bukan gitu sayang, tapi kita sama – sama tahu setiap orang pasti akan meninggal. Aku gak akan pernah tahu kapan waktu itu akan datang padaku, dan kamu juga gak akan pernah tahu itu. Apabila suatu saat nanti aku ninggalin kamu dengan tiba – tiba, apa yang kamu lakukan?” Nina kemudian berpaling, diam – diam dia menangis dan berkata dalam hati mungkin aku gak bisa berbuat apa – apa lagi, kamu sangat berarti bagiku. Setelah merasa lebih tenang, Nina berkata, “Aku gak suka topik ini, dan aku gak mau membicarakan ini lagi.” Erwin hanya terdiam mendengar tanggapan Nina, “sampai kapan aku akan merahasiakan semua ini padamu Nina, jika kamu tetap tidak ingin mendengar apa yang ingin aku katakan.”, kata Erwin dalam hati.
Sejak pembicaraan itu, Erwin tidak ada keberanian lagi untuk membicarakan tentang penyakitnya itu. Hingga suatu hari, Erwin memutuskan untuk menjalankan operasi. Kedua orangtuanya sudah setuju mengenai keputusan Erwin. Erwin meminta kepada Khevin, Maya, dan kedua orangtuanya untuk tidak memberitahu Nina soal kondisinya hingga nanti dia selesai operasi. Operasi dilakukan di Singapura, Erwin tidak memberi kabar apapun pada Nina soal ini. Sehingga Nina merasa bingung harus mencari Erwin dimana. “Kak, kenapa kakak yang jemput? Erwin mana?”, tanyanya ketika Maya menjemputnya di sekolah pada hari keberangkatan Erwin ke Singapura.
“Tadi Erwin nelpon kakak, katanya dia ada urusan tentang restorannya di Surabaya, jadi untuk beberapa hari ini dia gak bisa jemput kamu. Handphonenya juga gak bisa dihubungi, karena dia bilang gak mau diganggu dulu. Nanti kalau urusan di Surabaya sudah selesai, dia langsung balik ke Jogja.”
“Ada yang aneh, kenapa tumben dia gak ada pamit sama aku? Sebentar lagi liburan semester, apa aku boleh ke Surabaya juga?” Maya hanya diam mendengar pertanyaan dari Nina. Maya juga tak tahu harus berkata apa.
Seminggu sudah berlalu sejak Erwin pergi tanpa pamit. Nina merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Hingga suatu hari ketika dia melewati kamar kakaknya dengan membawa segelas jus jeruk, dia tidak sengaja mendengar percakapan antara Khevin dan Maya, “Terus apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku yakin Nina akan shock mendengar kabar ini.”, suara lirih dari Maya. Nina yang merasa namanya disebut mulai mendekatkan telinga ke arah pintu. “May, aku juga bingung. Tapi, kita gak bisa merahasiakan lagi. Besok jenazah Erwin akan tiba di Jogja. Kita harus mengatakannya pada Nina hari ini juga.” Di balik pintu Nina mendengar semuanya. Gelas yang berisi jus jeruk yang dibawanya tiba – tiba terlepas dari tangannya. Lututnya mulai terasa lemas dan dia duduk bersimpuh di depan kamar kakaknya. “Apa maksud semua ini? Jenazah? Ada apa dengan Erwin?”, pikirnya tak mengerti. Mendengar suara sesuatu jatuh, Maya dan Khevin langsung keluar dari kamarnya dan melihat Nina sudah terduduk lemas sambil menangis. “Nina, kamu gak papa?”, tanya Maya. Nina hanya terdiam dan tetap menangis. Dia masih belum mengerti mengenai apa yang didengarnya. Khevin yang tak tahan melihat adiknya menangis, manariknya dalam pelukannya, “Menangislah Nina, maafkan kakak.”
“Kak… A…apa mak-sud pembicaraan kakak tadi? Ada apa dengan Erwin? Ada apa? Bukannya dia cuma ke Surabaya?”, kata Nina sambil melepaskan pelukannya dari Khevin dan menatap Khevin tajam.
“Na, kamu tenang dulu. Nanti kakak jelaskan kalau kamu udah tenang.”
“Bagaimana aku bisa tenang? Apa maksud kakak bilang jenazah Erwin? Erwin kenapa?” dia berpaling menatap Maya, “Kakak pasti tahu Erwin kenapa ceritakan padaku Kak, tolong!”, ucapnya dengan lirih.
“Erwin meninggal Na. Dia meninggal karena gagal melakukan operasi tumor otak.”
“Kakak bohong! Erwin gak punya penyakit tumor otak! Erwin sehat! Kakak jahat kalau ingin memisahkan aku ama dia dengan alasan ini!”, teriak Nina tak terkendali. Air matanya mengalir tiada henti. Dia berlari menuju kamarnya. “gak mungkin itu Erwin, gak mungkin! Erwin baik – baik saja, dia sehat.”, sangkalnya dalam hati. Beberapa kali dia menghubungi handphone Erwin, tapi tidak aktif. Menghubungi telepon rumah dan orangtua Erwin, tetap tak ada jawaban. Khevin dan Maya merasa bersalah atas kondisi Nina. Nina tak mau keluar kamar, tak mau membukakan pintu untuk Khevin dan Maya, tak mau mengeluarkan sepatah katapun. Khevin dan Maya dengan setia menunggui Nina di depan kamarnya. Sedangkan, di dalam kamarnya Nina menangis tiada henti, hatinya tak karuan, pikirannya melayang pada hari terakhir dia bertemu dengan Erwin. “Saat itu dia masih tersenyum bahagia tanpa beban, masih terlihat sehat. Kenapa tiba – tiba?”, pikirnya. Akhirnya, setelah merasa sedikit lebih tenang, Nina keluar dari kamarnya. Dia melihat Khevin dan Maya di depan kamarnya masih merasa khawatir tentang keadaannya. “Kamu udah gak papa Na?”, tanya Khevin sambil membelai rambut adiknya. “Aku mau ke rumah Erwin sekarang.”, balasnya.
“Kakak antar!”, jawab Khevin tegas. Nina hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata – kata lagi. “May, kamu dirumah aja!”, lanjut Erwin.
Dalam perjalanan menuju rumah Erwin, hati Nina tak tenang. Dia hanya melamun dan air matanya membasahi pipinya yang mulus. Khevin berusaha menghiburnya, tapi semua sia – sia. Nina tetap terlihat sedih dan tak mau berbicara. Setibanya di rumah Erwin, Nina melangkah masuk ke rumah yang bisa terbilang mewah itu. Nina menekan bel rumah itu, kemudian tidak beberapa lama muncul sosok wanita paruh baya yang dikenal Nina sebagai pembantu rumah tangga di rumah Erwin. Mata wanita itu sembab, seperti habis menangis. “Erwin mana?”, kata Nina langsung masuk ke dalam rumah Erwin. Dia mencari sosok Erwin ke segala pojok ruangan. “Den… Den… Er-win udah mening-gal Non.”, kata wanita paruh baya itu sambil menangis.
“Mbok jangan bohongin aku!”, jawab Nina membentak. Seketika itu, pandangannya gelap dan tak ingat apa – apa lagi.
***
            Nina tersadar dan mendapati dirinya berada dalam kamarnya. Maya disampingnya dengan setia menungguinya. “Kak, Erwin gimana?”, tanya Nina ketika sudah tersadar total. Maya tidak menjawab, dia takut Nina parno lagi. “Kak,”, kata Nina lagi menunggu jawaban dari Maya. “Erwin udah meninggal.”, jawabnya kemudian.
            “Kakak bisa antar Nina ke rumah Erwin? Nina mau buktiin semuanya.”
Maya mengangguk dan berkata, “Siap – siap dulu. Kakak hubungi Kak Khevin untuk menghantar kita.” Nina menuruti semua perintah Maya.
            Setibanya di rumah Erwin, Nina langsung menangis. Di pekarangan rumah Erwin terdapat banyak karangan bunga bertuliskan, “Turut Berduka Cita Atas Meninggalnya Sdr. Erwin” dan banyak orang yang melayat di rumahnya. Nina turun dari mobil dan langsung menerobos ke kerumunan. Di ruang tamunya terlihat foto Erwin sedang tersenyum, tampak bahagia dan sehat dalam foto itu. Di sebelahnya terdapat peti. Nina melangkah perlahan menuju peti itu, dilihatnya Erwin dalam peti. “Kak, kenapa kakak pergi tanpa pamit? Kenapa kakak gak cerita ama aku masalah penyakit kakak? Apa kakak gak tahu aku sakit nerima kenyataan ini? Apa kakak gak peduli lagi ama aku? Kenapa kakak sama jahatnya seperti Ibu dan Ayahku, yang ninggalin aku? Apa kakak ingin aku sendiri lagi? Tolong kasih aku penjelasan kak!”, katanya sambil berlinang air mata. Ketika dia diam menatap jenazah Erwin, ada seseorang yang menepuk pundaknya. Nina berbalik dan menemukan orangtua Erwin dan orang tuanya berdiri dengan mata sembab. “Nina, ada titipan untuk kamu. Ini dari Erwin.”, kata Om Dimas seraya memberi sebuah kaset pada Nina. “Ketahuilah Nina, kamu adalah orang yang sangat Erwin sayangi. Jangan bersedih. Karena kesedihanmu akan menghambat kepergiannya ke surga.”, sambung Tante Tutik, ibu Erwin. Nina menatap mereka berdua. Dan beralih pada ibunya. Dia mendekati ibunya dan memeluknya, “Bu, Nina kehilangan orang yang sangat berarti buat Nina. Apa yang harus Nina lakukan sekarang?”, katanya sambil menangis.
            “Sayang, jangan terlarut dalam kesedihanmu. Karena kesedihanmu itu yang akan membuat kamu tak merelakan kepergian Erwin. Ikhlaskan kepergian Erwin. Terkadang apa yang kita harapkan belum tentu kita dapatkan.”, kata ibunya sambil membelai rambut Nina dengan penuh sayang. Untuk pertama kalinya semenjak tiga tahun belakangan ini, Nina mau menerima ibunya lagi. Nina mengikuti pemakaman Erwin dengan saksama, walaupun dengan hati perih. Setelah pemakaman selesai, Nina cepat – cepat membuka titipan yang diberikan oleh Om Dimas tadi. Nina menghidupkan titipan itu yang berupa video. “Sayang… Jangan sedih lagi. Mungkin nanti kalau kamu nonton video ini, aku udah gak bisa nemenin kamu lagi. Tapi tenang. Aku akan selalu menyayangi kamu. Maaf aku gak bilang masalah penyakitku ke kamu, jujur aku ini cowok lemah. Cowok yang gak berani kasih tahu kamu yang sebenarnya. Maaf, aku takut kamu akan sedih kalau kamu tahu ini. Ada sesuatu yang aku harap kamu bisa ngelakuinnya setelah aku gak ada. Tolong, jangan selalu merasa kalau kamu itu sendiri, masih ada kakak dan orang tuamu. Meskipun orang tuamu bercerai, tapi itu bukan berarti mereka gak peduli ama kamu. Mulailah bersikap dan berpikir lebih dewasa. Cuma itu yang aku ingin dari kamu. Aku sayang kamu, Nina. Eh ya, sebelum kelupaan aku mau bilang. Ini loh detik – detik aku menjelang masuk ruang operasi. Sempat – sempatin buat video cuma buat pacarku tersayang.” Tanpa terasa air mata mengalir di pipinya, Nina tersenyum dan berkata, “Erwin bodoh. Aku janji akan bersikap lebih dewasa. Makasih udah kasih aku hari – hari yang indah. Kamu akan selamanya ada dihatiku.” Nina menatap kelangit – langit dan melihat wajah Erwin tersenyum padanya. “Aku yakin aku tak kan sendiri, karena kamu selalu ada di hatiku walaupun kamu jauh disana.”, lanjutnya dalam hati sambil tersenyum.

Cari Blog Ini