KAU
TAK SENDIRI
“KAKAK!”,
teriak Nina ketika Erwin, pacarnya menjemput ke sekolahnya. Nina memang lebih
suka memanggil Erwin dengan sebutan “kakak” bukan “sayang”. Erwin yang ada di hadapan
Nina saat ini tersenyum dan berkata, “Udah lama nunggunya? Maaf ya tadi ada
urusan di kampus. Mau pulang langsung atau makan dulu?”
“Gak
kok, baru 5 menit yang lalu. Pulang langsung aja deh, capek banget.”, balas
Nina yang lansung naik ke mobil dan duduk di sebelah Erwin. Hubungan Erwin dan
Nina sudah berjalan selama 1 tahun. Nina dulunya adik kelas Erwin ketika di
SMA. Mereka saling kenal karena ketidak sengajaan Nina menabrak Erwin ketika
Nina sedang ingin membolos. Sifat Erwin dan Nina yang bertolak belakang membuat
siswa satu sekolah merasa heran tentang hubungan mereka. Erwin yang terkenal
karena keteladanannya dan Nina yang terkenal karena kebandelannya.
Tapi,
semenjak mengenal Erwin, hidup Nina menjadi berubah. Dia bukan lagi gadis
bandel dan berandal yang suka membolos sekolah. Erwin selalu menjaganya agar
dia tidak melakukan hal yang aneh – aneh. “Ada tugas untuk besok?”, Tanya Erwin
ketika perjalanan pulang mengantar Nina.
“Gak,
kalaupun ada palingan udah nyuruh kakak yang buatin.”, balas Nina dengan
santai.
“Kamu
tuh ya, masih aja suka ngerepotin aku. Kapan berubahnya sih?”
“Emang
kakak pengen aku berubah kayak gimana lagi? Aku kan udah jarang ngebolos,
bukannya itu juga udah perubahan? Aku juga udah jarang telat.”
“Bukan
gitu maksudnya, sayang! Kamu udah kelas 3 SMA, udah saatnya buat kamu bersikap
lebih dewasa. Aku gak akan selamanya bisa ngadapin sifat kamu yang kayak anak
kecil ini.”, kata Erwin dengan nada lembut. Sebenarnya Nina bisa bersikap lebih
dewasa semenjak pacaran dengan Erwin, tapi Nina tetap bersikap seperti anak
kecil ketika sedang dengan Erwin. Karena hanya Erwinlah yang dirasakan satu –
satunya orang yang peduli dengannya. Orang tua Nina sudah bercerai semenjak
Nina kelas 3 SMP. Dan sejak saat itu, Nina menjadi cewek bandel yang susah
diatur. Nina memutuskan untuk tinggal bersama kakak kandungnya di Jogja. Nina
tidak menjawab ketika kedua orang tuanya menanyakan dia akan tinggal dengan
ayah atau ibunya. Hingga saat ini dia masih tinggal dengan kakaknya, Khevin
beserta kakak iparnya, Maya. Terkadang ayah atau ibunya mengunjungi Nina dan
membawakan makanan kesukaan Nina, tapi karena kebencian Nina terhadap kedua
orangtuanya, dia sama sekali tak pernah memakan makanan yang dibawakan oleh
kedua orang tuanya. Orangtuanya percaya sepenuhnya pada Khevin untuk menjaga
Nina.
“Ini
udah kesekian kalinya Kakak bilang gitu ama aku. Kakak lama – lama kayak Kak
Khevin dan Kak Maya, suka ceramahin aku terus. Aku capek ngedengarinnya.”,
balas Nina sambil cemberut.
“Sayang,
bukan gitu. Ini semua demi kebaikan kamu. Lambat laun aku juga bakal sibuk
dengan kuliah dan usahaku? Jadi, waktu buat nemanin kamu bakal berkurang.”
“Waktu
SMA kakak juga masih bisa nemanin aku, padahal kakak juga sekolah dan kerja.
Tapi, kenapa sekarang gak bisa?”
“Karena
tugas kuliah banyak dan toko sekarang makin terkenal dan rencana mau buka cabang
baru di Surabaya.”, balasnya dengan nada lembut. Usaha yang dijalankan oleh
Erwin adalah restoran Italia yang sudah dirintis sejak dia kelas 1 SMA. Yang
awalnya dibantu dan dimodali oleh Ayahnya. Tapi kini usahanya sudah berkembang
pesat dan sudah merupakan tanggung jawab Erwin sepenuhnya. Nina tahu hal itu,
karena sejak mereka berpacaran Nina selalu menemani Erwin di restorannya.
“Tapi, aku masih bisa nemanin kakak di restoran kayak dulu? Bukannya kakak juga
sering bantu aku buat tugas di restoran sambil kakak jaga restoran? Jadi apa
bedanya? Apa jangan – jangan kakak udah gak betah sama sikap aku?”, kata Nina
masih keras kepala.
“Terserahlah!”,
balas Erwin dengan nada pasrah. Erwin tahu ini akan terjadi apabila dia
membicarakan hal ini. Tapi, bagaimanapun juga Erwin harus bisa membuat Nina
menjadi orang yang lebih dewasa. Karena Erwin tahu cepat atau lambat dia akan
meninggalkan Nina.
Setibanya
di depan rumah Khevin, Erwin turun untuk membukakan Nina pintu dan mampir
sebentar untuk bertemu dengan Khevin atau Maya. “Makasih kak. Masuk dulu yuk?”,
kata Nina ketika baru turun dari mobil.
“Iya,
aku juga mau ada urusan ama Kak Khevin atau Kak Maya. Soal bisnis.” Dari
Khevinlah, Erwin mendapatkan bahan makanan untuk restorannya. Khevin merintis
sebuah toko yang khusus menjual bahan makanan, baik bahan makanan dalam ataupun
luar negeri. Hari ini Khevin dan Erwin udah buat janji. Jadi, Khevin menunggu
Erwin dirumahnya. Ketika Nina dan Erwin datang, Khevin langsung menyambutnya.
“Ini dia yang udah ditunggu – tunggu datang juga.”, katanya sambil
mempersilahkan Erwin dan Nina untuk masuk. “Duduk dulu Win.”, katanya sambil
mempersilahkan Erwin duduk. “Nina, kamu buatin Erwin minum dulu. Nanti kamu
boleh langsung istirahat. Erwinnya mau kakak pinjam dulu buat ngomongin
bisnis.”
“Oke
aku juga mau tidur siang dulu. Ngantuk banget.”, balasnya langsung menuju
dapur. Setelah menyediakan minum untuk Khevin dan Erwin, Nina pamit ke Khevin
dan Erwin dan langsung menuju kamarnya di lantai dua. Setelah Nina pergi, Erwin
mulai bicara, “Kak, maaf minta waktu kakak. Sebenarnya aku kesini bukan utnuk
ngomongin bisnis, tapi untuk ngomongin masalah Nina. Kemarin aku kerumah sakit
untuk check up, dan hasilnya ternyata
aku mengidap tumor otak. Menurut dokter kalau dioperasi hasilnya 50:50 dan
umurku tinggal 8 bulan lagi, itupun kalau kondisiku stabil, tapi kalau aku
sakit terus, tumornya akan lebih cepat merambat. Aku gak tahu harus kayak
gimana. Aku gak bisa cerita semua ke Nina. Aku takut dia gak ngerti tentang apa
yang aku alami sekarang.”
“Win,
cepat atau lambat Nina akan tahu semuanya. Lebih baik kamu ceritakan semua pada
Nina sekarang. Daripada itu menjadi beban untukmu. Aku yakin Nina akan ngerti.”
“Tapi,
apa benar Nina akan mengerti? Bagaimana kalau dia malah gak percaya? Aku gak
mau Nina kembali ke masa lalunya jadi gadis berandal yang susah diatur.”
“Nina
akan baik – baik saja, jika kamu menjelaskannya dengan baik –baik. Kamu lebih
mengerti dan dekat dengan Nina daripada aku. Hanya kamu yang bisa mengendalikan
dia. Bukan ayah, ibu, ataupun aku dan Maya. Semenjak dia mengenalmu, dia mulai
bisa bersikap lebih dewasa. Kamu harus bilang sama dia!”, timpal Khevin dengan
tegas. “Sekarang semua keputusan ada di kamu. Apapun keputusannya, aku akan
bantu kamu.”
“Oke
kak, kalau gitu aku minta bantuan kakak untuk ngerahasiain ini dulu dari Nina,
sampai aku sanggup buat bilang ke dia.”, katanya. “Aku janji akan bilang kedia
soal penyakitku ini.”
***
Dua bulan sudah berlalu, tapi belum
juga ada keberanian untuk Erwin mengatakan soal penyakitnya ke Nina. Segala
tentang penyakitnya, dirahasiakan dengan rapat. Hingga suatu hari, Erwin
mencoba memberanikan diri untuk membicarakannya dengan Nina, ketika mereka
sedang duduk di restoran Erwin.
“Nina,
kalau seandainya suatu saat nanti kita gak bisa bersama kayak gini lagi, apa
yang bakal kamu lakukan?”
“Gak
ngelakuin apa – apa.”, ucapnya dengan santai.
“Na,
aku serius!”, balas Erwin dengan nada tegas. Mendengar nada suara Erwin yang
berubah, Nina kemudian menatap mata Erwin dengan tajam. “Kenapa kakak nanya
gitu? Kakak mau ninggalin aku? Kakak mau egois seperti ayah dan ibuku yang
lebih mementingkan hidup mereka masing – masing?” Suara Erwin kembali lembut,
“Bukan gitu sayang, tapi kita sama – sama tahu setiap orang pasti akan
meninggal. Aku gak akan pernah tahu kapan waktu itu akan datang padaku, dan
kamu juga gak akan pernah tahu itu. Apabila suatu saat nanti aku ninggalin kamu
dengan tiba – tiba, apa yang kamu lakukan?” Nina kemudian berpaling, diam –
diam dia menangis dan berkata dalam hati mungkin
aku gak bisa berbuat apa – apa lagi, kamu sangat berarti bagiku. Setelah
merasa lebih tenang, Nina berkata, “Aku gak suka topik ini, dan aku gak mau
membicarakan ini lagi.” Erwin hanya terdiam mendengar tanggapan Nina, “sampai kapan aku akan merahasiakan semua ini
padamu Nina, jika kamu tetap tidak ingin mendengar apa yang ingin aku katakan.”,
kata Erwin dalam hati.
Sejak
pembicaraan itu, Erwin tidak ada keberanian lagi untuk membicarakan tentang
penyakitnya itu. Hingga suatu hari, Erwin memutuskan untuk menjalankan operasi.
Kedua orangtuanya sudah setuju mengenai keputusan Erwin. Erwin meminta kepada
Khevin, Maya, dan kedua orangtuanya untuk tidak memberitahu Nina soal
kondisinya hingga nanti dia selesai operasi. Operasi dilakukan di Singapura, Erwin
tidak memberi kabar apapun pada Nina soal ini. Sehingga Nina merasa bingung
harus mencari Erwin dimana. “Kak, kenapa kakak yang jemput? Erwin mana?”,
tanyanya ketika Maya menjemputnya di sekolah pada hari keberangkatan Erwin ke
Singapura.
“Tadi
Erwin nelpon kakak, katanya dia ada urusan tentang restorannya di Surabaya,
jadi untuk beberapa hari ini dia gak bisa jemput kamu. Handphonenya juga gak
bisa dihubungi, karena dia bilang gak mau diganggu dulu. Nanti kalau urusan di
Surabaya sudah selesai, dia langsung balik ke Jogja.”
“Ada
yang aneh, kenapa tumben dia gak ada pamit sama aku? Sebentar lagi liburan
semester, apa aku boleh ke Surabaya juga?” Maya hanya diam mendengar pertanyaan
dari Nina. Maya juga tak tahu harus berkata apa.
Seminggu
sudah berlalu sejak Erwin pergi tanpa pamit. Nina merasa ada yang mengganjal
dalam hatinya. Hingga suatu hari ketika dia melewati kamar kakaknya dengan
membawa segelas jus jeruk, dia tidak sengaja mendengar percakapan antara Khevin
dan Maya, “Terus apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku yakin Nina akan shock mendengar kabar ini.”, suara lirih
dari Maya. Nina yang merasa namanya disebut mulai mendekatkan telinga ke arah
pintu. “May, aku juga bingung. Tapi, kita gak bisa merahasiakan lagi. Besok
jenazah Erwin akan tiba di Jogja. Kita harus mengatakannya pada Nina hari ini
juga.” Di balik pintu Nina mendengar semuanya. Gelas yang berisi jus jeruk yang
dibawanya tiba – tiba terlepas dari tangannya. Lututnya mulai terasa lemas dan
dia duduk bersimpuh di depan kamar kakaknya. “Apa maksud semua ini? Jenazah? Ada apa dengan Erwin?”, pikirnya tak
mengerti. Mendengar suara sesuatu jatuh, Maya dan Khevin langsung keluar dari
kamarnya dan melihat Nina sudah terduduk lemas sambil menangis. “Nina, kamu gak
papa?”, tanya Maya. Nina hanya terdiam dan tetap menangis. Dia masih belum
mengerti mengenai apa yang didengarnya. Khevin yang tak tahan melihat adiknya
menangis, manariknya dalam pelukannya, “Menangislah Nina, maafkan kakak.”
“Kak…
A…apa mak-sud pembicaraan kakak tadi? Ada apa dengan Erwin? Ada apa? Bukannya
dia cuma ke Surabaya?”, kata Nina sambil melepaskan pelukannya dari Khevin dan
menatap Khevin tajam.
“Na,
kamu tenang dulu. Nanti kakak jelaskan kalau kamu udah tenang.”
“Bagaimana
aku bisa tenang? Apa maksud kakak bilang jenazah Erwin? Erwin kenapa?” dia
berpaling menatap Maya, “Kakak pasti tahu Erwin kenapa ceritakan padaku Kak,
tolong!”, ucapnya dengan lirih.
“Erwin
meninggal Na. Dia meninggal karena gagal melakukan operasi tumor otak.”
“Kakak
bohong! Erwin gak punya penyakit tumor otak! Erwin sehat! Kakak jahat kalau
ingin memisahkan aku ama dia dengan alasan ini!”, teriak Nina tak terkendali.
Air matanya mengalir tiada henti. Dia berlari menuju kamarnya. “gak mungkin itu
Erwin, gak mungkin! Erwin baik – baik saja, dia sehat.”, sangkalnya dalam hati.
Beberapa kali dia menghubungi handphone Erwin, tapi tidak aktif. Menghubungi
telepon rumah dan orangtua Erwin, tetap tak ada jawaban. Khevin dan Maya merasa
bersalah atas kondisi Nina. Nina tak mau keluar kamar, tak mau membukakan pintu
untuk Khevin dan Maya, tak mau mengeluarkan sepatah katapun. Khevin dan Maya
dengan setia menunggui Nina di depan kamarnya. Sedangkan, di dalam kamarnya
Nina menangis tiada henti, hatinya tak karuan, pikirannya melayang pada hari
terakhir dia bertemu dengan Erwin. “Saat itu dia masih tersenyum bahagia tanpa
beban, masih terlihat sehat. Kenapa tiba – tiba?”, pikirnya. Akhirnya, setelah
merasa sedikit lebih tenang, Nina keluar dari kamarnya. Dia melihat Khevin dan
Maya di depan kamarnya masih merasa khawatir tentang keadaannya. “Kamu udah gak
papa Na?”, tanya Khevin sambil membelai rambut adiknya. “Aku mau ke rumah Erwin
sekarang.”, balasnya.
“Kakak
antar!”, jawab Khevin tegas. Nina hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata –
kata lagi. “May, kamu dirumah aja!”, lanjut Erwin.
Dalam
perjalanan menuju rumah Erwin, hati Nina tak tenang. Dia hanya melamun dan air
matanya membasahi pipinya yang mulus. Khevin berusaha menghiburnya, tapi semua
sia – sia. Nina tetap terlihat sedih dan tak mau berbicara. Setibanya di rumah
Erwin, Nina melangkah masuk ke rumah yang bisa terbilang mewah itu. Nina
menekan bel rumah itu, kemudian tidak beberapa lama muncul sosok wanita paruh
baya yang dikenal Nina sebagai pembantu rumah tangga di rumah Erwin. Mata
wanita itu sembab, seperti habis menangis. “Erwin mana?”, kata Nina langsung
masuk ke dalam rumah Erwin. Dia mencari sosok Erwin ke segala pojok ruangan.
“Den… Den… Er-win udah mening-gal Non.”, kata wanita paruh baya itu sambil
menangis.
“Mbok
jangan bohongin aku!”, jawab Nina membentak. Seketika itu, pandangannya gelap
dan tak ingat apa – apa lagi.
***
Nina tersadar dan mendapati dirinya
berada dalam kamarnya. Maya disampingnya dengan setia menungguinya. “Kak, Erwin
gimana?”, tanya Nina ketika sudah tersadar total. Maya tidak menjawab, dia
takut Nina parno lagi. “Kak,”, kata Nina lagi menunggu jawaban dari Maya.
“Erwin udah meninggal.”, jawabnya kemudian.
“Kakak bisa antar Nina ke rumah
Erwin? Nina mau buktiin semuanya.”
Maya mengangguk
dan berkata, “Siap – siap dulu. Kakak hubungi Kak Khevin untuk menghantar
kita.” Nina menuruti semua perintah Maya.
Setibanya di rumah Erwin, Nina
langsung menangis. Di pekarangan rumah Erwin terdapat banyak karangan bunga
bertuliskan, “Turut Berduka Cita Atas
Meninggalnya Sdr. Erwin” dan banyak orang yang melayat di rumahnya. Nina
turun dari mobil dan langsung menerobos ke kerumunan. Di ruang tamunya terlihat
foto Erwin sedang tersenyum, tampak bahagia dan sehat dalam foto itu. Di
sebelahnya terdapat peti. Nina melangkah perlahan menuju peti itu, dilihatnya
Erwin dalam peti. “Kak, kenapa kakak pergi tanpa pamit? Kenapa kakak gak cerita
ama aku masalah penyakit kakak? Apa kakak gak tahu aku sakit nerima kenyataan
ini? Apa kakak gak peduli lagi ama aku? Kenapa kakak sama jahatnya seperti Ibu
dan Ayahku, yang ninggalin aku? Apa kakak ingin aku sendiri lagi? Tolong kasih
aku penjelasan kak!”, katanya sambil berlinang air mata. Ketika dia diam
menatap jenazah Erwin, ada seseorang yang menepuk pundaknya. Nina berbalik dan
menemukan orangtua Erwin dan orang tuanya berdiri dengan mata sembab. “Nina,
ada titipan untuk kamu. Ini dari Erwin.”, kata Om Dimas seraya memberi sebuah
kaset pada Nina. “Ketahuilah Nina, kamu adalah orang yang sangat Erwin sayangi.
Jangan bersedih. Karena kesedihanmu akan menghambat kepergiannya ke surga.”,
sambung Tante Tutik, ibu Erwin. Nina menatap mereka berdua. Dan beralih pada
ibunya. Dia mendekati ibunya dan memeluknya, “Bu, Nina kehilangan orang yang
sangat berarti buat Nina. Apa yang harus Nina lakukan sekarang?”, katanya sambil
menangis.
“Sayang, jangan terlarut dalam
kesedihanmu. Karena kesedihanmu itu yang akan membuat kamu tak merelakan
kepergian Erwin. Ikhlaskan kepergian Erwin. Terkadang apa yang kita harapkan
belum tentu kita dapatkan.”, kata ibunya sambil membelai rambut Nina dengan
penuh sayang. Untuk pertama kalinya semenjak tiga tahun belakangan ini, Nina
mau menerima ibunya lagi. Nina mengikuti pemakaman Erwin dengan saksama,
walaupun dengan hati perih. Setelah pemakaman selesai, Nina cepat – cepat
membuka titipan yang diberikan oleh Om Dimas tadi. Nina menghidupkan titipan
itu yang berupa video. “Sayang… Jangan
sedih lagi. Mungkin nanti kalau kamu nonton video ini, aku udah gak bisa
nemenin kamu lagi. Tapi tenang. Aku akan selalu menyayangi kamu. Maaf aku gak
bilang masalah penyakitku ke kamu, jujur aku ini cowok lemah. Cowok yang gak
berani kasih tahu kamu yang sebenarnya. Maaf, aku takut kamu akan sedih kalau
kamu tahu ini. Ada sesuatu yang aku harap kamu bisa ngelakuinnya setelah aku
gak ada. Tolong, jangan selalu merasa kalau kamu itu sendiri, masih ada kakak
dan orang tuamu. Meskipun orang tuamu bercerai, tapi itu bukan berarti mereka
gak peduli ama kamu. Mulailah bersikap dan berpikir lebih dewasa. Cuma itu yang
aku ingin dari kamu. Aku sayang kamu, Nina. Eh ya, sebelum kelupaan aku mau
bilang. Ini loh detik – detik aku menjelang masuk ruang operasi. Sempat –
sempatin buat video cuma buat pacarku tersayang.” Tanpa terasa air mata
mengalir di pipinya, Nina tersenyum dan berkata, “Erwin bodoh. Aku janji akan
bersikap lebih dewasa. Makasih udah kasih aku hari – hari yang indah. Kamu akan
selamanya ada dihatiku.” Nina menatap kelangit – langit dan melihat wajah Erwin
tersenyum padanya. “Aku yakin aku tak kan sendiri, karena kamu selalu ada di
hatiku walaupun kamu jauh disana.”, lanjutnya dalam hati sambil tersenyum.