BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR
BELAKANG
Di dalam
Agama Hindu, dikenal dengan adanya Ajaran Catur Asrama yaitu empat jenjang
tahapan kehidupan. Dimana pembagiannya adalah yang pertama, Brahmacari Asrama
yaitu masa menuntut ilmu. Kedua, Grehastha Asrama yaitu masa berumah tangga
atau menjalani kehidupan berumah tangga. Ketiga, Wanaprastha Asrama yaitu
melepaskan diri dari ikatan keduniawian dan yang keempat Bhiksuka Asrama atau
“Sanyasin” yaitu menyebarkan ajaran kerohanian.
Dalam menjalankan Ajaran Catur
Asrama, dimana disini lebih menekankan pada ajaran tahapan kedua, yaitu
Grehastha Asrama. Sangat erat kaitannya dengan upacara pernikahan atau wiwaha.
Menurut Agama Hindu pernikahan adalah suat hal yang amat dimuliakan dan
disakralkan, karena pernikahan dan mempunyai anak adalah perintah agama yang
dimuliakan.
Maka dari itu, kita sebagai umat
Hindu sangatlah penting untuk lebih mampu memahami konsep Wiwaha itu sendiri,
dan mengetahui bagaimana pelaksanaan, tujuan serta sarana prasarana dalam
melaksanakan upacar Pernikahan atau Wiwaha, agar kita mampu menjalankan dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
- Apa pengertian Wiwaha?
- Apakah tujuan dari Wiwaha ?
- Bagaimana syarat pernikahan
agama Hindu?
- Bagaimana bentuk pernikahan menurut agama
Hindu?
- Bagaimana pelaksanaan pernikahan
menurut tradisi setempat?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
- Untuk mengetahui pengertian
Wiwaha.
- Untuk mengetahui tujuan Wiwaha.
- Untuk mengetahui syarat
pernikahan agama Hindu.
- Untuk mengetahui bentuk pernikahan menurut agama
Hindu.
- Untuk mengetahui pelaksanaan pernikahan
menurut tradisi setempat.
1.4 MANFAAT
PENULISAN
1.
Bagi
siswa, dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan siswa mengenai konsep
Wiwaha.
2.
Bagi
masyarakat luas, dengan adanya makalah dapat menambah wawasan mengenai sistem,
syarat, bentuk dari wiwaha atau lain sebagainya.
3.
Bagi
guru, dengan adanya makalah ini dapat menanamkan pengetahuan dini kepada siswa
mengenai penyusunan makalah.
1.5
METODE PENULISAN
Metode
Penelitian yang kami gunakan untuk menyusun makalah ini adalah metode Kajian
Pustaka, karena dalam mencari informasi dan memperoleh sumber kami menfaatkan
beberapa literature dan menelusurinya di website dan beberapa blog.
BAB
II
ISI
DAN PEMBAHASAN
Dalam masyarakat
Hindu ada empat jenjang/tahapan kehidupan yang disebut Catur Asrama. Tahap
pertama, yaitu tahap belajar/menuntut ilmu yang disebut Brahmacari. Tahap yang
kedua adalah Grhasta, yaitu berumah tangga. Tahap ketiga disebut Wanaprastha,
yaitu mulai melepaskan diri dari ikatan Duniawi dan tahap keempat adalah
Bhiksuka/Sanyasin, yaitu menyebarkan ilmu kerohanian kepada umat, dan dirinya
sepenuhnya diabdikan kepada Tuhan, Wiwaha/Pernikahan dalam masyarakat Hindu
memiliki arti dan kedudukan khusus dan penting sebagai awal dari masa berumah
tangga atau grhastha asrama.
suatu transaksi dianggap sah bila ada
saksi, dalam Upacara Wiwaha (Byakala) tersebut sudah terkandung Tri Upasaksi
(Tiga Saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa saksi
adalah Saksi Dewa (Ida Sang Widhi Wasa) yang di mohon untuk menyaksikan upacara
pawiwahan tersebut, Manusa Saksi adalah Saksi Manusia. Dalam hal ini semua
orang yang hadir pada saat dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku dan
Perangkat Desa (Bendesa Adat, Kelian Dinas dan sebagainya). Bhuta Saksi adalah
saksi para Bhuta Kala.
Pada saat
dilaksanakan Upacara Byakala kita membakar tetimpug (beberapa potongan bambu
yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbul suara ledakan. Suara ledakan
tersebut merupakan simbul memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara,
kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalanya upacara
tersebut.
Setelah selesainya Upacara Wiwaha
(Byakala). Maka pasangan pria dan wanita tersebut telah resmi menjadi suami
istri (Dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang
Grhastin.
2.1 PENGERTIAN
WIWAHA
Bagi masyarakat
Hindu soal pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia
kehidupan mereka. Istilah pernikahan sebagaimana terdapat didalam sastra dan
kitab hukum Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang
mengatur tata laksana pernikahan pembinaan hukum agama Hindu di bidang pernikahan.
Berdasarkan Kitab
Manusmrti, pernikahan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan
kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang
tua dengan jalan melahirkan seorang “putra”. Kata putra berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya “ia yang menyebrangkan/menyelamatkan arwah orang tuanya
dari neraka”.
Wiwaha dalam agama
Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra
dijelaskan bahwa Wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam
artian harus dilakukan oleh seseorang yang dialami normal sebagai suatu
kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang demikian pula
oleh para leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa
seseorang akan dapat dilakukan oleh keturunannya seperti dijelaskan dalam
ceritera/Itihasa.
2. 2 TUJUAN WIWAHA
Tujuan utama
dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra.
Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu menyebrangkan orang
tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu
mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra
dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :
Orang yang mampu
membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang
mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah
keutamaanya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus
ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaanya
dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang saputra.
Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.
Lebih jauh
dijelaskan oleh Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan Samskara
yang menempatkan kedudukan pernikahan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan
yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu semua persyaratan yang ditentukan
hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu.
Dalam upacara
Manusia Yadnya, wiwaha Samskara (Upacara Pernikahan) dipandang merupakan puncak
dari upacara Manusa Yadnya, yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya.
Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua atau Leluhur, maka itu
disamakan dengan Dharma.
Wiwaha Samskara
diabadikan berdasarkan Weda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara
atau penyucian diri melalui pernikahan. Sehubungan dengan itu Manawa
Dharmasastra menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka
diciptakanlah wanita dan pria oleh Tuhan, dan karena itu Weda akan diabadikan
oleh Dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri.
Dalam berumah tangga ada beberapa kewajiban yang perlu
dilaksanakan yaitu :
1 Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya
1 Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya
2. 3 SYARAT-SYARAT WIWAHA
Upacara Wiwaha (Pernikahan)
adalah suatu Samskara dan merupakan lembaga yang tidak terpisah dari hukum
Agama (Dharma). Menurut ajaran agama Hindu, sah atau tidaknya suatu pernikahan
terkait dengan sesuai atau tidak dengan persyaratan yang ada dalam agama. Suatu
pernikahan dianggap sah menurut Hindu adalah, sebagai berikut :
1.
Pernikahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut
ketentuan Hukum Hindu.
2.
Untuk mengesahkan pernikahan menurut Hukum Hindu harus
dilakukan oleh Pendeta/Rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk
melakukan perbuatan itu.
3.
Suatu pernikahan dikatakan sah apabila kedua calon
mempelai telah menganut Agama Hindu.
4.
Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pernikahan
dikatakan sah setelah melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan sebagai rangkaian
Upacara Wiwaha.
5.
Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
6.
Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah
haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani.
7.
Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan
wanita minimal 18 tahun.
8.
Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau
sepinda.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut
menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
a.
Dalam pasal 6 disebutkan pernikahan harus ada
persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang
tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari
calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka
yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah.
Dalam
ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus
dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava
Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa
dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam
itaretarkamyaya”
yang
artinya:
“Pemberian
anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air
suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan
dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
b.
Menurut pasal 7 ayat 1, pernikahan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum
mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan pernikahan maka diperlukan
persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan
mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa “walaupun seorang gadis telah mencapai usia
layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir
hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik
atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak
untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon
suami yang sederajat untuknya.” Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang
layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya
setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas
Hindu dan Budha, 2001: 34).
c.
Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang-
Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu pernikahan yang dilarang dan harus
dihindari dijelaskan dalam Manava
Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan
Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan
laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu
lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan
wanita yang tidak memiliki etika.
d.
Selain itu persayaratan administrasi untuk
catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat
sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat
keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik,
surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili,
surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga
dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama
Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu pernikahan. Hal tersebut
dilandasi oleh sloka dalam Manava
Dharmasastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair
nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha
ca”
Yang artinya:
“Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya
dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara
kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala
dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta,
2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara pernikahan ( samskara ) tersebut, agama Hindu
tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama
Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu
yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa
disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh
pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di
dunia (Jagadhita) dan Moksa.
Dalam pelaksanaan upacara pernikahan
baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa
wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika
belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut
kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavadgita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat
pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
a.
Sapta Pada
(melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu.
Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai
dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar
sirih dan lain-lainnya.
b.
Panigraha
yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon
mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara pernikahan. Dalam
budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa
( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada
masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
c.
Laja Homa
atau Agni Homa pemberkahan
yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen
Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
d.
Sraddha
artinya pelaksanaan samskara hendaknya
dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab
suci mengenai pelaksanaan yajña
harus diyakini kebenarannya. Yajña
tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu
keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya
sebagai pajangan biasa.
e.
Lascarya artinya
suatu yajña yang dilakukan
dengan penuh keiklasan.
f.
Sastra
artinya suatu yajña harus
dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam
pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu
dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
g.
Daksina artinya
adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang
dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
h.
Mantra artinya
dalam pelaksanaan upacara yajña
harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
i.
Annasewa
artinya dalam pelaksanaan upacara
yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
j.
Nasmita
artinya suatu upacara yajña hendaknya
tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
2. 4 BENTUK PERNIKAHAN
A.
Bentuk Pawiwahan dalam Agama Hindu
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8
bentuk pernikahan sebagai berikut:
a.
Brahma wiwaha
adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada
seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
b.
Daiwa wiwaha
adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada
seorang pendeta pemimpin upacara.
c.
Arsa wiwaha
adalah bentuk pernikahan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah
pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu
menurut kitab suci.
d.
Prajapatya wiwaha
adalah bentuk pernikahan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah
terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang
berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan
kepada mempelai laki-laki.
e.
Asuri wiwaha
adalah bentuk pernikahan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah
terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
f.
Gandharva wiwaha adalah bentuk pernikahan berdasarkan cinta
sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
g.
Raksasa wiwaha
adalah bentuk pernikahan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan
kekerasan. Bentuk pernikahan ini dilarang.
h.
Paisaca wiwaha
adalah bentuk pernikahan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa
gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk pernikahan
ini dilarang.
B.
Pernikahan
yang Dilarang
Larangan suatu pernikahan diawali dengan pencegahan.
Berdasarkan pasal 1 Undang – Undang No. 1 tahun 1974 dari Undang – Undang pernikahan,
pencegahan dilakukan dengan cara mengajukan kepengadilan Negeri dalam wilayah
hukum di mana dilangsungkannya pernikahan itu.
Berdasarkan Dharmasastra pencegahan pernikahan apabila
yang bersangkutan adalah sapinda, artinya mempunyai hubungan darah yang dekat
dari keluarga. Menurut Undang - Undang No. 1 tahun 1974, suatu pernikahan dapat
dibatalkan bila tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 27 yang isinya
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)
Suatu pernikahan
dapat diminta pembatalannya apabila bertentangan dengan hokum agama, misalnya
dilaksanakan dengan system raksasa atau Paisaca Wiwaha.
2)
Pernikahan
dapat dibatalkan bilamana calon mempelai masih mempunyai ikatan pernikahan
dengan seseorang sebelumnya.
3)
Pernikahan
dapat dibatalkan bila calon istri/suami mempunyai cacat yang
disembunyikan,sehingga salah satu pihak merasa ditipu, misalnya mempunyai
penyakit menular berbahaya, tidak sehat pikiran atau impotensi, mengandung
karena akibat berhubungan dengan laki – laki lain.
4)
Pernikahan
batal berdasarkanhubungan sapinda.
5)
Pernikahan
bisa dibatalkan apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami
menurut hukum Hindu.
2. 5 PELAKSANAAN PERNIKAHAN MENURUT
TRADISI SETEMPAT
A. Pernikahan Menurut Tradisi Bali
Pernikahan menurut
Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkat, yaitu
kecil/nista, sedang/madya, dan besar/utama.
Walaupun menjadi tiga namun nilai spriritualnya sama.
1. Tata Urutan dan
Jalannya Upacara
a. Penyambutan Kedua Mempelai
Penyambutan mempelai
sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur-unsur
negative yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak menganggu jalannya
upacara.
b. Mabyakala
Upacara untuk
membersihkan lahir batin terhadap kedua mempelai, yaitu sel benih pria dan sel
benih wanita agar menjadi janin suputra.
c. Mapejati/Pesaksian
Mapejati merupakan
upacara kesaksian tentang pengesahan pernikahan ke hadapan Hyang Widhi atau
Tuhan Yang Maha Esa juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah
mengikatkan diri sebagai suami istri yang sah.
2. Sarana/Upakara
Jenis upakara yang dipergunakan pada upacara ini
secara sederhana rinciannya sebagai berikut:
1. Banten
Pemagpag, segehan dan tumpeng dadanan.
2. Banten
Pesaksi, pradaksina, dan ajuman.
3. Banten
untuk mempelai byakala, banten kurenan, dan pengulap pengambean.
Adapun
kelengkapan upakara lainnya seperti sebagai berikut:
1. Tikeh
Dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang maih hijau,
ini merupakan simbol kesucian si gadis.
2. Papegatan
berupa dua buah canang, dapdap yang ditancapkan di tempat upacara. Jarak yang
satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang
putih dalam keadaan terentang.
3. Tetimpug
yaitu beberapa pohon bamboo kecil yang masih muda dan ada ruassnya sebanyak
lima ruas atau tujuh ruas.
4. Sok
Daganng adalah sebuah bakul yang berisi buah-buahan, rempah-rempah dan keladi.
5. Kala
Sepetan yaitu disimbolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah
tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah, dan tiga
lembar daun dapdap. Kala Sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan
menerima pekala-kalaan.
6. Tegen-tegenan
adalah batang tebu atau cabang dapdap yang kedua ujungnya diisi gantungan
bingkisan nasi dan uang.
B. Pernikahan
Menurut Tradisi Jawa
Biasanya
setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga menyetujui pernikahan, maka
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pinangan
Biasanya yang melamar adalah pihak calon penganten pria.
Bila sudah diterima, langsung akan dibicarakan langkah-langkah selanjutnya
sampai terjadinya upacara pernikahan.
b. Siraman
Siraman
dari asal kata siram ,artinya mandi. Sehari sebelum pernikahan, kedua calon
penganten disucikan dengan cara dimandikan yang disebut Upacara Siraman. Calon pengantin putri
dimandikan di rumah orang tuanya, demikian juga calon mempelai pria juga
dimandikan di rumah orang tuanya.
c. Ngerik
Ngerik artinya
rambut-rambut kecil diwajah calon pengantin wanita dengan hati-hati dikerik
oleh pemaes.Rambut penganten
putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Perias mulai merias
calon penganten .
d. Midodareni
Pada upacara midodareni
yang berlangsung dimalam hari sebelum Ijab dan Temu Manten/Panggih di keesokkan harinya, kedua orang tua calon
mempelai pria beserta calon mempelai pria, diantar oleh keluarga dekatnya,
berkunjung kerumah orang tua calon mempelai putri.
e. Upacara diluar Kamar Pelaminan
Dimalam midodareni,
orang tua dan keluarga calon penganten putri, menerima kunjungan dari orang tua
dan keluarga dari calon penganten pria. Mereka duduk didalam rumah, saling
berkenalan dan bersantap bersama. Calon penganten pria juga datang, tetapi dia
tidak boleh masuk rumah dan hanya boleh duduk diserambi depan rumah. Diapun
hanya disuguhi segelas air minum, tidak boleh makan atau minum yang lain.Ini
konon untuk melatih kesabaran seorang suami dan kepala keluarga.
f. Srah-srahan atau Peningsetan
Dalam upacara midodareni,
bisa dilakukan srah-srahan atau
peningsetan.( Pada zaman dulu, peningsetan dilakukan sebelum malam midodareni). Orang tua dan
keluarga calon penganten pria memberikan beberapa barang kepada orang tua calon
penganten wanita.
Peningsetan dari kata singset, artinya mengikat erat, dalam hal ini terjadinya
komitmen akan sebuah pernikahan antara putra putri kedua pihak dan
para orang tua penganten akan menjadi besan.
g. Nyantri
Sewaktu rombongan keluarga temanten pria pulang dari
upacara midodareni, calon penganten pria juga ikut diajak pulang.Tetapi,
bila calon mempelai pria nyantri, maka dia ditinggal dirumah calon
mertuanya.Tentu nyantri sebelumnya sudah dibicarakan dan disetujui kedua
pihak. Begini tata caranya : Orang tua calon mempelai pria melalui
jurubicara keluarga mengatakan kepada orang tua calon mempelai wanita, bahwa
calon mempelai pria tidak diajak pulang dan menyerahkan tanggung jawab kepada orang
tua calon mempelai putri.
Setelah keluarganya pulang, ditengah malam dia dipersilahkan
masuk rumah untuk makan, tidak boleh ketemu calon istrinya dan sesudah itu
diantar kekamar tidur untuk beristirahat.
Nyantri
dilaksanakan untuk segi praktisnya, mengingat besok pagi dia sudah harus
didandani untuk pelaksanaan ijab kabul/pernikahan. Juga untuk keamanan
pernikahan, kedua calon mempelai sudah berada disatu tempat.
h.
Pelaksanaan Ijab
Ijab adalah hal paling penting untuk melegalisir sebuah pernikahan.
Ijab dilaksanakan sesuai dengan agama yang dianut kedua pengantin.
C.
Pernikahan Menurut Tradisi Dayak
Pernikahan
adat Dayak pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 tahapan :
a. Mamupuh
Apabila keluarga
pihak laki-laki telah mencapai sepakat tentang seorang wanita yang akan
dilamar, keluarga laki-laki mengirim utusan kepada pihak perempuan untuk
menyampaikan lamarannya. Utusan tersebut membawa persyaratan Adat, seperti
Sangku Tambak (mangkok yang berisi beras dan uang logam yang berguna sebagai
symbol Singal Sangku). Persyaratan tersebut merupakan simbolis bahwa pihak laki-laki
melamar seorang wanita yang diserahkan langsung kepada orang tua atau wali
pihak perempuan. Jika pihak perempuan menerima lamaran tersebut mereka harus
menyampaikan kepada utusan pihak laki-laki yang melamar. Setelah mengetahui
lamarannya diterima, pihak laki-laki menyerahkan pakaian Sinde (selembar kain
panjang atau kamben) kepada wanita yang dilamar dan pada saat itu juga pihak
laki-laki menetapkan rencana untuk meminang.
b.
Meminang
Peminangan biasanya
dilakukann dalam kurun waktu tiga bulan setelah pihak laki-laki menyerahkan
Sinde Mendeng. Persyaratan meminang yang dibawa oleh pihak laki-laki, antara
lain satu buah gong untuk Batu Pisek, pakaian Sinde Mendeng, seekor ayam, dan
lilies/lamiang.
c.
Tahap Pengukuhan Pernikahan
Sebelum
keberangkatan mempelai laki-laki di rumahnya menuju kediaman mempelai
perempuan, terlebih dahulu diadakan upacara pemberangkatan. Setiba di rumah
mempelai perempuan, mempelai laki-laki terlebih dahulu menginjak telur ayam yang
ditaruh di atas batu yang disiapkan di depan pintu, setelah itu mempelai
laki-laki Mapas dengan menggunakan daun andong yang dicelupkan dalam air cucian
beras. Maksud memapas ini adalah untuk mensucikan lahir batin mempelai
laki-laki, sedangkan penyucian lahir batin untuk mempelai wanita telah diadakan
pada malam sebelemnya. Setiba di rumah
diadakan upacara Haluang Hapelek (pernikahan Adat).
Pengukuhan pernikahan
secara agama Hindu di Dayak berlangsung keesokan harinya, pada pengukuhan pernikahan,
kedua mempelai duduk bersanding di atas sebuah Gong. Tangan mereka memegang
Ponjon, Andong, Rabayang, Rotan, serta menghadap sesajen yang ditujukan kepada
Putir Santanng (manifestasi Ranjng Hattala/Tuhan di bidang pernikahan). Yang
melaksanakan pengukuhan pernikahan adalah tujuh orang rohaniawan agama Hindu
yang dengan darah binatang kurban, minyak kelapa, dan beras. Setelah itu, kedua
mempelai diberi makan tujuh buah nasi tumpeng yang terlebih dahulu digabungkan
menjadi satu dan kemudian dibagi berdua.Sebagai
penutup kedua mempelai Manukiei sebanyak tujuh kali di depan pintu
rumah. Sore harinya dilanjutkan dengan
upacara Mahenjean Penganten yang pada prinsipnya memberikan nasihat pernikahan
kepada kedua mempelai.
Selama tujuh
hari terhitung sejak upacara pengukuhan pernikahan, kedua mempelai menjalanka
beberapa pantangan, antara lain tidak ke luar rumah dan tidak membunuh atau
menyiksa binatang. Pada hari yang kedelapan kedua mempelai melakukan kunjunngan
ke rumah sesepuh keluarga mempelai untuk memohon doa restu.
BAB
III
PENUTUP
3.
1 Simpulan
- Wiwaha merupakan istilah
pernikahan sebagaimana terdapat di dalam sastra dan kitab hukum Hindu
(Smrti).
- Tujuan utama dari wiwaha adalah
untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra.
- Syarat terjadinya pernikahan
dalam agama Hindu:
ü
Dilakukan menurut ketentuan Hukum Hindu.
ü
Pengesahan harus dilakukan oleh
Pendeta/Rohaniawan.
ü
Kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.
ü
Telah melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan
sebagai rangkaian Upacara Wiwaha.
ü
Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan
pernikahan.
ü
Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak
pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani.
ü
Calon mempelai cukup umur.
ü
Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau
sepinda.
4.
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8
bentuk pernikahan sebagai berikut:








- Rentetan pelaksanaan pernikahan
menurut tradisi setempat:
1. Pernikahan menurut tradisi Bali:
a.
Penyambutan kedua mempelai.
b.
Mabyakala.
c.
Mapejati/pesaksian.
2. Pernikahan
menurut tradisi Jawa:
a. Pinangan.
b. Siraman.
c.
Ngerik.
d.
Midodareni.
e.
Upacara diluar kamar pelaminan.
f.
Srah-srahan atau peningsetan.
g. Nyantri.
h. Pelaksanaan ijab.
3.
Pernikahan menurut tradisi Dayak:
a.
Mamupuh.
b. Meminang.
c. Tahap
pengukuhan pernikahan.
3.2 Saran
1.
Bagi umat yang hendak melakukan
pewiwahan sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apa syarat suatu pewiwahan
tersebut dianggap sah.
2.
Perhatikan terlebih dahulu mengenai
tradisi pernikahan daerah setempat, agar pernikahan dapat dinyatakan sah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudirga,
Ida Bagus, dkk. 2010. Widya Dharma Agama
Hindu Untuk SMA Kelas XII. Denpasar: Ganeca Exact.
2. Sujana,
I Wayan, dkk. 2011.Lembar Kerja Siswa
Agama Hindu Yoga Prabha. Denpasar : Yoga Prabha.
3. www.google.com